[ CAKRAWALA FAKTA, KUHP SI SUSAH SINYAL " GERAK SIKIT MASUK PENJARA" ]
Kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan opini terhadap kinerja pemerintahan mengalami kesulitan diakibatkan pengesahan KUHP yakni pada pasal 218 dan pasal 240 ayat 1, Pemahaman yang berkembang sangat sulit membedakan antara penghinaan dengan kritik yang ditujukan sebagai bentuk tidak berjalannya demokrasi yang baik di Negeri ini. Sikap baperan yang seharusnya tidak ada dalam pribadi seorang pemimpin dikarenakan segala bentuk komentar menjadi bentuk penilaian akan ketidakpuasan rakyat terhadap kaum elite.
AKSES MUDAH BAGI "TIKUS KANTOR"
Tikus kantor ialah sebuah kiasan yang merujuk pada mereka orang kantoran yang gemar berbuat curang, mencuri, khianat, korupsi, menyalahgunakan kekuasaan dan lain sebagainya. Secara spesifik, ungkapan TIKUS KANTOR ini bisa bermakna KORUPTOR atau pelaku tindak pidana korupsi. Melihat perbuatan yang dilakukan mereka merugikan bahkan sangat merugikan negara, pemberlakukan hukuman yang berat sangat pantas diberikan kepada mereka.
Hal yang seharusnya menjadi sorotan kita ialah pasal 603 KUHP pada penurunan masa tahanan koruptor. Pengurangan masa tahanan yang sebelumnya minimal 4 tahun penjara pada UU No. 20/2001 namun KUHP dipangkas menjadi 2 tahun penjara. Pengurangan tersebut terkesan sangat tidak masuk akal serta menyebabkan akses mudah bagi mereka yang ingin memperkaya dengan jabatan dan uang negara. Lantas apa yang sedang di pikirkan oleh pihak penguasa? Kesejahteraan bagi seluruh koruptor Indonesia.
DILEMA PERS "ANTARA KEBENARAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK"
Pers merupakan segala kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan perantaran barang cetakan. Sementara dalam artian luas, pers adalah kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik. Berita yang sampai kepada khalayak umum merupakan hasil olahan pihak pers. Pemberitaan yang dimuat oleh pers akan mengalami kelumpuhan dikarenakan media massa yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna, akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP pada pasal 188 ayat 1 dan pasal 433 ayat 1.
Pemikiran dua kali akan dilakukan oleh pihak pers jika akan melakukan suatu pemberitaan terhadap lembaga negara. Kedilemaan akan pemberitaan kebenaran atau pencemaran nama baik akan terus menghantui pihak pers. Apalagi belakangan ini, tepatnya setelah pengesahan KUHP tak sedikit pihak pers yang tertangkap karena diduga memberitakan kebohongan ke publik. Jika hal ini tidak segera dibenahi, kemunduran pemberitaan di negeri ini lambat laun akan kita rasakan.